Tepat tengah hari yang panas terik, Setiawan jatuh kehabisan tenaga. ajalnya sudah dekat.
oil on canvas
110 x 90 cm
lukisan herjaka hs 2017
Sawitri Oh Sawitri
herjaka hs
(14) Menjemput Kematian
Hari yang mendebarkan dan sekaligus menakutkan pun tiba. Pagi
itu tepat setahun usia perkawinan Setiawan dan Sawitri. Sawitri sengaja
memperlambat bangun, takut menemui matahari yang sinarnya mulai hangat. Jikapun
ia mau menemui matahari, ia ingin mengatakan, “Hai matahari berhentilah
berlama-lama agar sinarmu tetap hangat. Jangan berubah menjadi siang yang
terik!”
Seperti yang diramalkan para nujum istana bahwa wanci bedug tengange saat mentari berada
tepat di tengah, Setiawan akan mati.
Jika Sawitri sangat takut menghadapi kematian suaminya, tidak demikian halnya dengan
Setiawan. Ia tetap melakukan kegiatan sehari-hari, mencari kayu di hutan, tanpa
takut dan cemas. Jika pada hari sebelumnya, ketika Setiawan berpamitan untuk
pergi ke hutan, Sawitri mengantarnya hanya sampai di pintu pagar halaman, hari
ini Sawitri tidak tega melepas Setiawan sendirian. Ia ingin menemani suaminya
mencari kayu di hutan.
Waktu pun seakan-akan memperlambat jalannya karena belum tega
berpisah dengan pemuda tampan yang rendah hati dan luhur budi itu. Demikian
pula Sawitri. Ia tidak tega membiarkan Setiawan menjemput ajal sendirian.
Sawitri ingin mendampinginya sangat dekat, sembari memohon diberikan jalan
terbaik bagi mereka berdua.
Setelah hampir separuh hari mengumpulkan kayu, waktu Setiawan
pun tinggal sedikit. Tanda-tanda akan datangnya Dewa Pencabut Nyawa semakin
kentara. Setiawan kehabisan tenaga. Badannya lemas tak berdaya. Untunglah
Sawitri berada disampingnya, sehingga tubuh Setiawan yang terkulai tidak jatuh
di tanah, melainkan berbaring dipangkuan Sawitri.
Saatnya telah tiba. Ditengarai dengan gemuruh suara angin, keadaan
pun menjadi gelap. Suasana menjadi beku dan mencekam. Tiba-tiba dari kegelapan
itu muncul sosok yang mengerikan. Mukanya merah menyala, berkulit merah, dan berpakaian
serba merah.
Siapakah dia? Dia adalah Sang Hyang Yamadipati, dewa pencabut
nyawa. Menurut silsilahnya, ia adalah
anak Sang Hyang Ismaya atau Semar yang
berpasangan dengan Dewi Kanestren.
Yamadipati mempunyai sepuluh saudara kandung, yaitu: Sang
Hyang Bongkokan, Sang Hyang Patuk, Sang Hyang Temboro, Sang Hyang Surya, Sang
Hyang Wrehaspati, Sang Hyang Candra, Sang Hyang Kamajaya, Sang Hyang Kwera,
Dewi Darmanastiti, dan Dewi Superti.
Sebagai dewa, Yamadipati diberi dua tugas yang tidak ringan,
yaitu sebagai dewa pencabut nyawa dan dewa penunggu neraka. Sebagai dewa pencabut nyawa ia disebut Dewa
Kematian, sedangkan sebagai penunggu neraka ia diberi nama Sang Hyang Petraraja,
yang berarti rajanya neraka, atau Sang Hyang Yamakingkarapati yang artinya
panglima dari makhluk-makhluk Kingkara atau makhluk penjaga neraka.
Dikarenakan dua tugas yang menyeramkan dan menakutkan itu,
setiap orang takut berjumpa dengan dirinya. Namun, sesungguhnya ia adalah dewa
yang berhati lembut, sabar, dan penuh kasih.
Ia adalah dewa yang luar biasa. Bagaimana tidak? Ia dapat
memadukan dua kehidupan yang saling bertentangan, yaitu kehidupan batin yang
merupakan jagat kecil dan kehidupan lahir yang merupakan jagat besar. Di jagad
kecil ia menjaga nurani agar tetap
lembut, sabar dan welas asih. Sementara itu, di jagat besar ia begumul dengan
kematian dan “penyiksaan.”
Pada waktu menjalankan tugas mencabut nyawa seseorang yang
sudah sampai pada janjinya, dewa yang satu ini masih dapat mengekspresikan
kelembutannya. Demikian juga ketika menunggui orang-orang yang kepanasan dibakar api neraka, ia masih mampu
memelihara kasihnya.
Kemana pun dewa tinggi besar berwajah merah itu pergi,
tangannya selalu menggenggam gulungan dadung,
sejenis tali tambang berukuran besar. Dadung
itulah yang dipakai Yamadipati untuk mencabut nyawa. Bagaikan seekor ular yang
sangat ganas, dadung itu bergerak
sangat cepat mematuk ubun-ubun korban untuk mengambil nyawanya.
Seperti siang yang gelap itu, tampar dadung di tangan Hyang Yamadipati, telah bergerak sangat cepat mematuk
ubun-ubun Setiawan. Dalam sekejap nyawa Setiawan sudah berada di tangan Sang
Hyang Yamadipati. Sawitri melihat dan merasakan bahwa Setiawan benar-benar telah
mati. Tubuh Setiawan yang ada dipangkuannya menjadi semakin dingin.
Sawitri mencoba menenangkan diri. Dengan sangat hati-hati
tubuh Setiawan dibaringkan di tanah, kemudian Sawitri bersimpuh menyembah Sang Hyang
Yamadipati. Sembari menurunkan sembahnya pelan-pelan, Sawitri memberanikan diri
memandang wajah Sang Hyang Yamadipati dengan penuh hormat.
Diakuinya bahwa wajah itu sungguh menyeramkan, namun jika
seseorang berani menatap wajah Dewa Kematian dengan hati yang damai dan jiwa
yang pasrah, niscaya ia akan merasakan belas kasih serta keteduhan yang
memancar dari sorot matanya. Sang Hyang Yamadipati pun menatap tajam mata
Sawitri yang bening seperti telaga, sebelum berbalik meninggalkan tempat itu.
Dan siang pun kembali terik. (bersambung)
No comments:
Post a Comment