Herjaka Hs kembali memamerkan lukisan-lukisan wayangnya yang khas,
berdasarkan wayang purwa gaya Yogyakarta. Yang agak berbeda, kali ini
lukisan-lukisan yang dipamerkan memvisualkan jalan salib Yesus Kristus.
Sebagaimana
lazimnya lukisan jalan salib di gereja dan tempat ziarah, ada 14 lukisan yang
merupakan rangkaian fragmen sejak keputusan Gubernur Ponsius Pilatus hingga
pemakaman Yesus. Lukisan-lukisan ini telah dipasang di Gereja Santa
Maria Assumpta, Gamping, Yogyakarta. Sebelumnya dipamerkan dulu di Tembi Rumah
Budaya, 23 Juli – 5 Agustus 2015.
Herjaka
melukiskan fragmen-fragmen ini dalam figur wayang kulit, dipadu gaya realis dan
stilisasi obyek. Tokoh-tokohnya tampil dalam dua dimensi dengan anatomi, mimik
dan gesture yang khas. Hasilnya, karya-karya yang anggun, estetis, serta arkais.
Sedikitnya
ada dua hal yang bisa dicatat. Pertama,
Herjaka melukis dalam format wayang bukan dengan mengambil tokoh atau kisah
wayang. Ia lebih membuat transformasi bentuk wayang. Dengan menonjolkan wayang,
bukan tokoh atau kisah wayang, maka substansi wayang secara lebih otonom sebagai
‘bayang-bayang’ kehidupan atau manusia di dunia terasa lebih mencolok. Wayang
sebagai pelajaran, petunjuk dan tuntunan hidup. Lewat perspektif ini, pesan
jalan salib semakin mengena.
Kedua, lakon yang diambil sepenuhnya
berasal dari luar kisah wayang. Lakon berasal dari kata ‘laku’ atau jalan, yang
dikaitkan dengan kehidupan. Dalam pameran ini, jalan yang diangkat Herjaka
adalah jalan kemuliaan, sesuai tema pameran, ‘Lurung Kamulyan’. Jalan salib
Yesus Kristus adalah wujud jalan kemuliaan. Keteladanan Yesus yang menempuh
jalan salib yang menyakitkan dan memilukan dengan ketegaran luar biasa
berlandaskan cinta kasih. Representasi praktik cinta sejati dan ‘menjadi’ (being) yang paripurna.
Tepatlah
ketika Herjaka menyebut cinta sejati sebagai syarat jalan kemuliaan. Kemuliaan
adalah salah satu harkat manusia yang terutama. Bukan dalam artian materi namun
dalam artian nilai, sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dalam zaman kekerasan, cinta
kasih diperlukan untuk memutus lingkaran setan kekerasan. Begitu pula terhadap
dampak dehumanisasi peradaban, sungguh cinta kasih wajib kian dikedepankan.
Juga
bisa digarisbawahi pesan-pesan universal Herjaka pada fragmen jalan salib ini.
Semisal, pentingnya semangat dan aksi bangun dari kejatuhan. Dan pada tingkat
tertentu, tangan cinta kasih Tuhanlah yang membantu kita bangun. Atau misalnya,
aksi mewujudkan cinta kasih membutuhkan keberanian, tindakan mawas diri atau
menilai diri sendiri memerlukan pengingatan, dan sebagainya.
Selain
itu, lukisan wayang jalan salib ini penting dalam konteks relasi budaya dan
agama. Bagaimana keduanya dapat bersinergi untuk menghidupkan nilai-nilai
positif demi kualitas kehidupan yang lebih baik. Bukan budaya ansich atau agama ansich tapi cinta kasih Tuhan yang dipraktikkan. Urip lan nguripi, dan memayu hayuning bawono. Sejarah di
Indonesia, khususnya di Jawa, menunjukkan bahwa budaya lokal berperan penting
dalam mengakarkan substansi ajaran agama.
Karenanya,
lukisan-lukisan ‘Lurung Kamulyan’ ini merupakan karya estetis sekaligus etis,
memikat sekaligus bernas, enak dilihat dan perlu direnungkan.
Tulisan pengantar dari
A. Barata
Tembi Rumah Budaya
(dengan sedikit perubahan)