Showing posts with label paintings. Show all posts
Showing posts with label paintings. Show all posts

SESUCI

  • 0

Niatku mandi air suci
memandikan badan jasmani
masuk ke badan rohani
air suci
suci kehendak Allah

Seperti seorang ibu pada umumnya, Dewi Arimbi mandi keramas dengan membaca mantra, sebagai tanda awal untuk melakukan sesuci secara lahir batin. Hal tersebut dilakukan dalam upayanya untuk mempersiapkan rahimnya agar pantas menjadi persemaian ciptaan baru, tempat Roh Allah hidup dan dihidupi dalam wujud bayi yang akan lahir di dunia. Gatotkaca.

Karya herjaka HS 1999, krayon pada kertas, 25 cm x 25 cm


PURIFICATION

Arimbi was having a bathing ritual to pure herself from outside to inside. She did that so that she was decent enough to have her womb carrying a great son, who would be named Gatotkaca.

Herjaka HS 1999
Crayon on paper, 25x25 cm

Lurung Kamulyan 'Palerenan 13'

  • 0































Perhentian ke-13 Jalan Salib:
Yesus diturunkan dari salib.
'Agar dapat tumbuh berkembang, suatu benih harus hancur dan hilang. Demikian pula berlaku untuk cinta kasih.'


Cat minyak pada kanvas
70cm x 50cm
karya Herjaka HS 2015


Dipajang di Gereja Santa Maria Assumpta, Gamping, Yogyakarta



13th Station of The Way of The Cross:
The body of Jesus is taken down from the cross.
'In order to grow and be fruitful, a seed have to disappear and destroyed in the process. That also applied for love.'


Oil on canvas
70cmx50cm
Herjaka HS 2015

Displayed at Church of Santa Maria Assumpta, Gamping, Yogyakarta

Lurung Kamulyan 'Palerenan 12'

  • 0































Perhentian ke-12 Jalan Salib:
Yesus wafat di kayu salib.
'Tumpahnya darah dari lambung Sang Pewarta yang tergantung di salib karena kasih yang amat sangat pada sahabat-sahabatnya.'


Cat minyak pada kanvas
70cm x 50cm
karya Herjaka HS 2015


Dipajang di Gereja Santa Maria Assumpta, Gamping, Yogyakarta



12th Station of The Way of The Cross:
Jesus dies on the cross.
'Blood that streams out of the belly of The Herald that's hanging on a cross is because of the profound love to His people.'


Oil on canvas
70cmx50cm
Herjaka HS 2015

Displayed at Church of Santa Maria Assumpta, Gamping, Yogyakarta

Lurung Kamulyan 'Palerenan 11'

  • 0































Perhentian ke-11 Jalan Salib:
Yesus disalibkan.
'Meski hanya sedikit, tiap manusia memiliki naluri binatang. Dan bila dibiarkan naluri itu bisa tumbuh dan mengakibatkan seseorang menjadi ganas dan kehilangan kemanusiaanya.'


Cat minyak pada kanvas
70cm x 50cm
karya Herjaka HS 2015


Dipajang di Gereja Santa Maria Assumpta, Gamping, Yogyakarta



11th Station of The Way of The Cross:
Jesus is nailed to the cross.
'Even just a little, human have animal instinct. It can grow and make someone lose its humanity.'


Oil on canvas
70cmx50cm
Herjaka HS 2015

Displayed at Church of Santa Maria Assumpta, Gamping, Yogyakarta

Lurung Kamulyan 'Palerenan 10'

  • 0































Perhentian ke-10 Jalan Salib:
Pakaian Yesus ditanggalkan.
'Jika ingin jujur, hati ini akan tertawa tiap melihat sesama menanggung malu. Maka tak heran bila omongan serta tingkah laku sering membuat orang lain malu, merasa ditelanjangi.


Cat minyak pada kanvas
70cm x 50cm
karya Herjaka HS 2015


Dipajang di Gereja Santa Maria Assumpta, Gamping, Yogyakarta



10th Station of The Way of The Cross:
Jesus' clothes are taken away.
'If you want the truth, truth is, one's heart will laugh when a fellow is being humiliated. It is no wonder if one's act or words often make others feel humiliated, like being stripped.


Oil on canvas
70cmx50cm
Herjaka HS 2015

Displayed at Church of Santa Maria Assumpta, Gamping, Yogyakarta

Lurung Kamulyan 'Palerenan 9'

  • 0































Perhentian ke-9 Jalan Salib:
Yesus jatuh untuk ke tiga kalinya.
'Jatuh berulangkali bukan berarti seseorang kehilangan kekuatan dan pengharapan. Namun itu berarti seseorang telah menapaki jalan yang panjang dan hampir sampai ke tempat tujuan.'


Cat minyak pada kanvas
70cm x 50cm
karya Herjaka HS 2015


Dipajang di Gereja Santa Maria Assumpta, Gamping, Yogyakarta



9th Station of The Way of The Cross:
Jesus falls for the third time.
'Fall over and over again doesn't mean one loses hopes and strengths. But that means one have taken a long journey and almost get to the destination.'


Oil on canvas
70cmx50cm
Herjaka HS 2015

Displayed at Church of Santa Maria Assumpta, Gamping, Yogyakarta

Lurung Kamulyan 'Palerenan 8'

  • 0































Perhentian ke-8 Jalan Salib:
Yesus menghibur perempuan-perempuan yang menangisinya.
'Berefleksi perlu untuk membangun hidup rohani yang lebih baik dan sempurna.'


Cat minyak pada kanvas
70cm x 50cm
karya Herjaka HS 2015


Dipajang di Gereja Santa Maria Assumpta, Gamping, Yogyakarta


















8th Station of The Way of The Cross:
Jesus meets the women of Jerusalem.
'Reflecting is prominently to build avbetter spiritual life.'

Oil on canvas
70cmx50cm
Herjaka HS 2015

Displayed at Church of Santa Maria Assumpta, Gamping, Yogyakarta




Lurung Kamulyan 'Palerenan 7'

  • 0






























Perhentian ke-7 Jalan Salib:
Yesus jatuh untuk kedua kalinya.
'Ketika jatuh lagi, pertanda bahwa manusia itu lemah dan membutuhkan kekuatan dari Tuhan untuk bangkit dan meneruskan perjalanan.'


Cat minyak pada kanvas
70cm x 50cm
karya herjaka HS 2015

Dipajang di Gereja Santa Maria Assumpta, Gamping, Yogyakarta


7th Station of The Way of The Cross:
Jesus falls for the second time.
'When one falls for the second time, it means that one is weak, thus, he needs help from God to rise and continue the life journey.

Oil on canvas
70cmx 50 cm
Herjaka HS 2015
Displayed at the Church of Santa Maria Assumpta
Gamping, Yogyakarta

Lurung Kamulyan 'Palerenan 5'

  • 0
































Perhentian ke-5 Jalan Salib:
Yesus ditolong oleh Simon dari Kirene.
'Menolong dapat meringankan beban mereka yang butuh pertolongan.'


Cat minyak pada kanvas
70cm x 50cm
karya herjaka HS 2015
Dipajang di Gereja Santa Maria Assumpta, Gamping, Yogyakarta
  

5th Station of The Way of The Cross:
Simon of Cyrene helps Jesus to carry his cross.
'Helping, can lighten the burden of the one who needs.

Oil on canvas
70cmx 50 cm
Herjaka HS 2015
Displayed at the Church of Santa Maria Assumpta
Gamping, Yogyakarta

Lurung Kamulyan 'Palerenan 4'

  • 0
































Perhentian ke-4 Jalan Salib:
Yesus berjumpa dengan ibunya.
'Berjalan ke Golgota penuh aniaya, Ibunda menangis melihat Putra Terkasih memanggul salib.

Cat minyak pada kanvas
70cm x 50cm
karya herjaka HS 2015
Dipajang di Gereja Santa Maria Assumpta, Gamping, Yogyakarta




4th Station of The Way of Cross:

Jesus meets His mother.
'Walking to Golgota full of tortures, Mother cries seeing her beloved Son carries the cross.

Oil on canvas

70cmx 50 cm
Herjaka HS 2015
Displayed at the Church of Santa Maria AssumptaGamping, Yogyakarta



Lurung Kamulyan 'Palerenan 3'

  • 0






























Perhentian ke-3 Jalan Salib:
Yesus jatuh untuk pertama kalinya.
'Siapa yang tak pernah jatuh ketika menapaki jalan hidup? Bukan masalah jatuhnya, namun ketika tak mau bangkit, itulah masalah.'


Cat minyak pada kanvas
70cm x 50cm
karya herjaka HS 2015
Dipajang di Gereja Santa Maria Assumpta, Gamping, Yogyakarta

3rd Station of The Way of Cross:
Jesus falls the first time.
'Who never fall when stepping on the way of life? It is not the fall which makes a problem, but when one never get up after the fall, that is a problem.'

  Oil on canvas
  70cmx 50 cm
  Herjaka HS 2015
  Displayed at the Church of Santa Maria Assumpta
Gamping, Yogyakarta


Lurung Kamulyan 'Palerenan 2'

  • 0

Perhentian ke-2 Jalan Salib:
Yesus memanggul salib
'Setiap orang menanggung dosanya sendiri-sendiri. Bahkan ada yang terpaksa menanggung dosa orang lain karena menjadi korban kejahatan orang-orang tersebut.'

Cat minyak pada kanvas
70cm x 50cm
karya herjaka HS 2015
Dipajang di Gereja Santa Maria Assumpta, Gamping, Yogyakarta


'  2nd Station of The Way of Cross:
  Jesus carries His cross.
  Every person bears their own sins. Sometimes even they have
  to bear other person's sins as they being the
  victim of their wrongs.

 Oil on canvas
 70cmx 50 cm
 Herjaka HS 2015
 Displayed at the Church of Santa Maria Assumpta, Gamping,
 Yogyakarta

Lurung Kamulyan 'Palerenan 1'

  • 0

Perhentian pertama Jalan Salib: 
Yesus dijatuhi hukuman mati.
Ponsius Pilatus sebagai penguasa 'mencuci tangan' tak ingin ikut berdosa dalam penyaliban Yesus yang dinilainya tak bersalah.

Cat minyak pada kanvas
70cm x 50cm
karya Herjaka HS 2015
Dipajang di Gereja Santa Maria Assumpta, Gamping, Yogyakarta



First station of The Way of Cross
Jesus is condemned to death.
Pontius Pilatus as the governor did not want to be involved in the sin of murdering Jesus, the man he believed was innocent.

Oil on canvas
70cmx50cm
Herjaka HS 2015
Displayed at Church of Santa Maria Assumpta, Gamping, Yogyakarta



Seri Lukisan 'Lurung Kamulyan'



Herjaka Hs kembali memamerkan lukisan-lukisan wayangnya yang khas, berdasarkan wayang purwa gaya Yogyakarta. Yang agak berbeda, kali ini lukisan-lukisan yang dipamerkan memvisualkan jalan salib Yesus Kristus.

Sebagaimana lazimnya lukisan jalan salib di gereja dan tempat ziarah, ada 14 lukisan yang merupakan rangkaian fragmen sejak keputusan Gubernur Ponsius Pilatus hingga pemakaman Yesus. Lukisan-lukisan ini telah dipasang di Gereja Santa Maria Assumpta, Gamping, Yogyakarta. Sebelumnya dipamerkan dulu di Tembi Rumah Budaya, 23 Juli – 5 Agustus 2015.

Herjaka melukiskan fragmen-fragmen ini dalam figur wayang kulit, dipadu gaya realis dan stilisasi obyek. Tokoh-tokohnya tampil dalam dua dimensi dengan anatomi, mimik dan gesture yang khas. Hasilnya, karya-karya yang anggun, estetis, serta arkais.  

Sedikitnya ada dua hal yang bisa dicatat. Pertama, Herjaka melukis dalam format wayang bukan dengan mengambil tokoh atau kisah wayang. Ia lebih membuat transformasi bentuk wayang. Dengan menonjolkan wayang, bukan tokoh atau kisah wayang, maka substansi wayang secara lebih otonom sebagai ‘bayang-bayang’ kehidupan atau manusia di dunia terasa lebih mencolok. Wayang sebagai pelajaran, petunjuk dan tuntunan hidup. Lewat perspektif ini, pesan jalan salib semakin mengena.

Kedua, lakon yang diambil sepenuhnya berasal dari luar kisah wayang. Lakon berasal dari kata ‘laku’ atau jalan, yang dikaitkan dengan kehidupan. Dalam pameran ini, jalan yang diangkat Herjaka adalah jalan kemuliaan, sesuai tema pameran, ‘Lurung Kamulyan’. Jalan salib Yesus Kristus adalah wujud jalan kemuliaan. Keteladanan Yesus yang menempuh jalan salib yang menyakitkan dan memilukan dengan ketegaran luar biasa berlandaskan cinta kasih. Representasi praktik cinta sejati dan ‘menjadi’ (being) yang paripurna.

Tepatlah ketika Herjaka menyebut cinta sejati sebagai syarat jalan kemuliaan. Kemuliaan adalah salah satu harkat manusia yang terutama. Bukan dalam artian materi namun dalam artian nilai, sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dalam zaman kekerasan, cinta kasih diperlukan untuk memutus lingkaran setan kekerasan. Begitu pula terhadap dampak dehumanisasi peradaban, sungguh cinta kasih wajib kian dikedepankan.

Juga bisa digarisbawahi pesan-pesan universal Herjaka pada fragmen jalan salib ini. Semisal, pentingnya semangat dan aksi bangun dari kejatuhan. Dan pada tingkat tertentu, tangan cinta kasih Tuhanlah yang membantu kita bangun. Atau misalnya, aksi mewujudkan cinta kasih membutuhkan keberanian, tindakan mawas diri atau menilai diri sendiri memerlukan pengingatan, dan sebagainya.

Selain itu, lukisan wayang jalan salib ini penting dalam konteks relasi budaya dan agama. Bagaimana keduanya dapat bersinergi untuk menghidupkan nilai-nilai positif demi kualitas kehidupan yang lebih baik. Bukan budaya ansich atau agama ansich tapi cinta kasih Tuhan yang dipraktikkan. Urip lan nguripi, dan memayu hayuning bawono. Sejarah di Indonesia, khususnya di Jawa, menunjukkan bahwa budaya lokal berperan penting dalam mengakarkan substansi ajaran agama.

Karenanya, lukisan-lukisan ‘Lurung Kamulyan’ ini merupakan karya estetis sekaligus etis, memikat sekaligus bernas, enak dilihat dan perlu direnungkan.

Tulisan pengantar dari

A. Barata
Tembi Rumah Budaya

(dengan sedikit perubahan)

TUMPENG ROBYONG

  • 0














Tumpeng ini adalah manifestasi dari pengadukan samodra yang dilakukan oleh para dewa, dalam upaya mencari tirta amerta (a = tidak dan merta = mati) atau air hidup abadi. Dikarenakan Tirta Amerta berada didasar samodra, maka untuk mengambilnya laut perlu diaduk, agar Tirta Amerta naik ke permukaan. Yang dipakai mengaduk adalah  gunung Mandara atau gunung Meru,  digambarkan nasi putih dibentuk kerucut. Cabai merah panjang menggambarkan api yang keluar dari kawah gunung Mandara. Kacang panjang menggambarkan Dewa Naga Basuki yang sedang melilit dan memutar gunung untuk mengaduk samodra. Aneka sayuran, lauk pauk dan bumbu gudangan adalah menggambarkan isi bawah laut yang diaduk dan terangkat ke permukaan. Terasi menggambarkan racun. Telor adalah gambaran tirta amerta.

Ketika proses pengadukan berlangsung, seluruh isi dasar laut bercampur dan terangkat ke permukaan. Bersamaan dengan terangkatnya seluruh isi lautan, terangkat pula kotoran atau racun yang mematikan. Para dewa mengira bahwa cairan kental berwarna kecoklatan tersebut adalah tirta amerta dan ingin segera meminumya. Mengetahui para dewa dalam bahaya, Batara Guru dengan cepat menyambar racun tersebut dengan mulutnya. para dewa selamat dari racun yang mematikan. Namun akibatnya racun yang ditelan masuk membuat leher Batara Guru berwarna nila. Sejak saat itu Batara Guru diberi sebutan Sang Hyang Nilakantha.

Setelah racun diamankan, para dewa melajutkan pengadukan samodera dan pada akhirnya membuahkan hasil yaitu tirta amerta. Para dewa meminumnya dan mereka hidup abadi dan tak akan mati.

Tumpeng Robyong dihadirkan pada upacara Brokohan yaitu ucapan syukur atas kelahiran. Pada  upacara ini pararahim (para wanita)  diundang untuk datang agar mereka pun bersyukur atas rahim yang telah dianugerahkan. Harapannya semoga dari rahim-rahim mereka lahirlah seorang anak yang sehat cerdas dan berbudiluhur.

Cat minyak pada kanvas
120cm x 80cm
Karya herjaka HS 2012

Tumpeng Robyong (Javanese Traditional Dish, Made of rice in a conical form, completed with vegetables and other side dishes). Is a symbol of a myth. It was told that long ago, gods were stirring the ocean in order to find tirta amerta (water of eternity). Because tirta amerta only could be found at the bottom of ocean, so to get it they needed to get it to the surface by stirring up the ocean with Mandara volcano. The mountain then symbolized into a conical-shaped white rice. The long red chili in tumpeng was a symbol of fire from Mandara volcano. The long bean symbolized Dewa Basuki dragon who twisted his body around the volcano to stirr the ocean. Vegetables, side dishes, and topping from seasoned scraped coconut flesh (gudangan) symbolized the contents of ocean being stirred up to the surface. The dried shrimp paste (terasi) was a symbol of poison coming out of the ocean, while the boiled egg was a symbol of sacred tirta amerta. After the gods drank tirta amerta, they became immortal.

Usually tumpeng robyong served at brokohan ceremony (ceremony to thank God for a birth of a child). In this ceremony, women are invited to thank God for uterus they had, and to pray that can give birth to good children in the future)

Oil on canvas
120 cm x 80 cm

Herjaka HS 2012

DEWA PAES RASEKSA

  • 0





























Serupa manusia yang jika dilihat dari pakaiannya, adalah orang terhormat, namun raut mukanya seperti raseksa.
Tinta pada kanvas
40cm x 30cm
karya herjaka HS 2008


SENOPATI WANITA

  • 0





















Srikandi adalah sosok perajurit wanita yang dapat menjadi suri tauladan bagi prajurit prajurit wanita yang lain. Srikandi rajin berlatih olah keprajuritan. Ia bertindak sebagai penanggung jawab atas keselamatan dan keamanan kasatrian Madukara dengan segala isinya. Jabatan tertinggi yang diraih adalah sebagai senopati agung dalam perang Baratayuda, menghadapi Resi Bisma senapati agung Ngastina. Dalam peperangan tersebut Srikandi dapat mengalahkan Resi Bisma.
Cat minyak pada kanvas,
87 cm x 187 cm,
karya Herjaka HS, tahun 2009
Koleksi: Ir. Shanti Lasminingsih Poesposoetjipto, Jakarta

WOMAN COMMANDER is a woman soldier that become a role model for other women soldiers. Srikandi was diligent to practice war techniques. She acted as a responsible person for the safety and security of Madukara headquarters. The highest position she achieved was as a Great Commander of Baratayuda War, facing Resi Bima, Great Commander from Ngastina. In that war, Srikandi defeated Resi Bisma.

Oil on canvas
87 cm x 187 cm
Herjaka HS 2009

 Collected by Ir. Shanti Lasminingsih Poesposoetjipto, Jakarta

KIDUNG PANGRUWAT

  • 0
































ruwiyeng gineng prasidheng murti murtija
pratistha wineh sru huning
tyasira wignya lalita

ruwiyeng (pada suatu ketika) gineng  (yang bersifat agung atau besar) prasida (kekuatan yang ditimbulkan dari hati yang jernih) murti (mengendalikan kewibawaan) murtija (cahaya yang mempunyai daya kekuatan) pratistha (mengarah pada perasaan) wineh  (memberikan) sru (besar dan kuat) huning (kejernian yang sedemikian) tyasira (di dalam pribadinya) wignya (mampu, cakap, cerdas) lalita (memberi kesan kindahan, keharmonisan dan kemuliaan)

Selesai membaca mantra Kidung Pangruwat, Sadewa bungsu dari Pandawa memercikan air suci kepada Batari Durga. Keelokan pun terjadi. Batari Durga yang berwujud raseksi larena dikutuk Dewa Siwa pelan-pelan berubah ke wujud semula, Batari Uma yang cantik cemerlang.
Cat minyak pada kanvas
150cm x 150cm
Karya herjaka HS 2003
Koleksi Dr. Alex Prayanto Yogyakarta

KIDUNG PANGRUWAT
(Kidung: classic javanese poems, Pangruwat: kind of ritual to release evil things/energy from human)

Ruwiyeng (once upon a time), gineng (great or glorious character) prasida (a power comes from a clear and pure heart) murti (controlling authority) murtija (lights which has power) pratistha (towards feeling) wineh (give) sru (big and strong) huning (an exceptional clarity) tyasira (inside one’s personality) wignya (be able, smart) lalita (giving a sense of beauty, harmony, and glory)

After reading mantra of Kidung Pangruwat, Sadewa, the youngest of Pandawa splashed holy water to Batari Durga. Magic happened. The giant form of Batara Durga caused by a curse from Siwa slowly turned into its real form, the bright and exquisite Batari Uma.

Oil on canvas
150 cm x 150 cm
Herjaka HS 2003

Collected by Dr. Alex Prayanto Yogyakarta