Seorang Bidadari terbang di atas kota metropolitan membawa bokor emas
berisi doa keselamatan dan kesejahteraan, untuk dianugerahkan kepada
setiap orang yang masih berjaga pada keluhurhan budi dan kerendahan hati
lukisan cat minyak pada kanvas
80 x 60cm
herjaka HS 2016
Sawitri Oh Sawitri
Herjaka HS
(1) Putri
Istimewa
Sawitri
adalah putri Prabu Aswapati, raja kerajaan Mandaraka. Selain menawan serta
sempurna kecantikannya, ia putri yang rendah hati dan luhur budi. Tidak saja
Prabu Aswapati yang beruntung mempunyai putri seperti Sawitri. Sawitri pun
merasa beruntung mempunyai ayah Prabu Aswapati. Pasalnya Prabu Aswapati tidak
seperti raja-raja pada umumnya yang melakukan adat kebiasaan menjodohkan
putrinya sesuai dengan pilihan orang tua.
Prabu
Aswapati memberi kebebasan penuh kepada Sawitri untuk menentukan masa depannya
sendiri, termasuk dalam memilih pasangan hidup. Baginda Prabu percaya bahwa
putrinya telah dewasa, matang dalam berpikir sehingga dapat mempertanggung-jawabkan
apa yang menjadi pilihannya.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa seorang putri raja dengan serta-merta akan menjadi putri
nomor satu di negaranya, apalagi putri raja tersebut berparas ayu seperti
Sawitri. Maka tidaklah mengherankan jika kemudian dirinya menjadi pusat perhatian
seluruh kawula Mandaraka, terlebih kawula muda.
Walaupun
mereka, kecuali para punggawa raja, jarang sekali melihat sang putri, sekali tampil di muka umum, Sawitri bak
magnet yang sangat kuat menyedot perhatian setiap orang yang melihatnya.
Senyumnya, paras ayunya, gerak-gerik pada tribangga
tiga lekuk tubuhnya, busananya, semuanya mempunyai daya tarik luar biasa. Tidaklah terlalu berlebihan jika Sawitri
diibaratkan seperti bidadari Ratih yang mengejawantah ke dunia.
Ah,
putri secantik itu kok belum mempunyai tunangan, demikian gumam kawula Mandaraka
ketika membicarakan Sekar Kedaton. Walaupun tidak dapat dikatakan terlambat,
namun pada kenya-taannya Sawitri yang sudah menginjak usia matang, masih
sendiri.
Sebagian
besar orang mengira karena ia putri raja
yang tercantik, maka laki-laki di negeri ini takut mendekatinya, apalagi melamar-nya.
Ada pula
yang berpendapat, bahwa Sawitri berselera tinggi, terlalu banyak memilih dan
membandingkan sehingga tidak mudah -kalau tidak boleh dikatakan sukar - untuk
mendapatkan jodoh yang sesuai dengan harapannya.
Boleh
saja orang-orang menilai dirinya dengan pikiran dan pendapatnya sendiri, namun
sejatinya apa yang ada dibenak Sawitri tidak seperti apa yang dipikirkan banyak
orang.
Jika
dikatakan bahwa Sawitri terlalu banyak memilih, itu memang diakuinya. Namun
Sawitri memilih bukan karena ketampanan, kekayaan, atau berdasarkan kedudukan,
derajat, dan pangkat.
Ia
memilih pasangan berdasarkan sikap batin yang dihidupi orang tersebut, yaitu
kerendahan hati serta keluhuran budi, seperti halnya dirinya. Kedua keutamaan
tersebut menjadi dasar Sawitri untuk menentukan pilihannya.
Namun, di
kota raja ini untuk menemukan seorang lelaki muda yang hidupnya mengedepankan
nilai-nilai keluhuran dan keutamaan budi sangatlah sulit. Lebih mudah menemukan
orang kaya, tampan, berkedudukan tinggi, berkelimpahan harta benda, dan hidup
foya-foya, karena di pusat kota ini pola hidup masyarakatnya berorientasi pada
derajat, pangkat, dan semat. Hidup
masyarakatnya berkiblat pada kedudukan, uang, dan harta benda.
Sukses
seseorang diukur dari kedua hal yang bersifat materi dan duniawi. Semakin
tinggi jabatan seseorang dan semakin melimpah harta kekayaannya akan banyak
orang datang membungkuk menaruh hormat kepadanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kota
raja bukanlah tempat untuk menemukan pria muda yang didamba Sawitri.
Beberapa
parampara penasihat raja memberi
pandangan bahwa apa yang dialami Sawitri juga dialami oleh putri-putri
raja di beberapa negara. Karena
kecantikan dan kedudukannya sebagai putri raja, hampir tidak ada jejaka di
negaranya yang berani meminangnya. Karena selain takut, tentunya juga merasa
tidak pantas dan tidak sebanding derajatnya.
Apalagi Baginda
Prabu telah berjanji tidak akan menjodohkan putrinya. Artinya, biarlah anak
yang bersangkutan bertemu untuk mengadakan pendekatan dari hati ke hati hingga
sampai pada tahap saling menemukan cinta dalam pribadi masing-masing. Setelah
itu, barulah orang tua yang berembuk tut
wuri mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan anak-anaknya.
Hampir
tidak ada seorang jejaka yang mempunyai nyali untuk datang mengadakan
pendekatan kepada Sawitri. Jikalau ada,
mereka adalah putra-putra pejabat kerajaan yang mempunyai gaya hidup yang tidak
sesuai dengan pilihan Sawitri.
Prabu
Aswapati menyadari bahwa sulit mencari jodoh bagi putri raja yang istimewa, dalam hal ini dialami oleh negara-negara besar
lainnya. Oleh karena itu untuk mengatasinya, ada beberapa raja yang kemudian
mengambil jalan menggelar sayembara untuk memilah dan memilih siapa yang paling
pantas menjadi menantu raja.
Jika
dibandingkan dengan dijodohkan sesuai pilihan orang tua, sayembara lebih
memberi ruang bagi putri raja untuk menyeleksi calonnya, karena dalam sayembara
itu sang putrilah yang menentukan syarat apa yang diinginkan untuk menyeleksi calon suami yang dianggap
layak dan pantas.
Ketika Baginda
Prabu menyampaikan perihal sayembara tersebut, Sawitri menolak dengan halus.
Baginya, sayembara itu, selain mengeluarkan biaya sangat banyak, juga
merepotkan banyak orang. Belum lagi jika nanti terjadi kekacauan, tentunya akan
memakan banyak korban dan kerusakan di negara yang dicintai ini.
Prabu
Aswapati memang tidak memaksa. Ia hanya memberi pandangan seperti yang disampaikan
para penasihat raja. Walau pada akhirnya Prabu Aswapati sependapat dengan
pandangan putrinya, namun Prabu Aswapati terkejut ketika Sawitri menyampaikan
rencananya.
“Apa?!
Engkau akan meninggalkan keraton? Meninggalkan kemewahan untuk melakukan
perjalanan mencari seorang pria? Seharusnya engkaulah yang dicari, bukan malah
sebaliknya.”
“Ramanda
Prabu, sesungguhnya yang aku cari dan ingin aku dapatkan bukanlah sosok lelaki semata. Aku ingin
mendapatkan dan menemukan sebuah nilai yang sangat berharga dalam hidup ini,
yaitu kesetiaan, keluhuran budi, dan kerendahan hati.
Dan pada
kenyataannya, nilai-nilai seperti itu tidak lagi dihidupi oleh generasi muda di
kota raja ini. Jika aku hanya berpangku tangan menunggu jodohku, sampai tua pun
aku tidak akan mendapatkannya. Apakah Ramanda rela hal itu terjadi padaku? Oleh
karena itu, izinkanlah aku meninggalkan kotaraja untuk menemukan apa yang aku
cari.”
Prabu
Aswapati menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya bola mata anaknya yang bening
dan indah itu. Ada perasan sedih, haru,
cemas, dan sekaligus kagum dan bangga berpuletan
menjadi satu. Ia membayangkan bagaimana nanti jika putrinya keluar masuk desa,
naik turun gunung tanpa pengawalan. Bahkan bisa jadi, mengingat bahwa putrinya adalah
seorang yang sangat pemberani, ia bakal nekat melewati hutan belantara yang
dihuni oleh aneka binatang buas.
Sedalam
itukah pemikiran putrinya? Sebesar itukah tekadnya hingga mau meninggalkan
segala kemewahan? Kekuatan apa yang mendorong putrinya untuk mendapatkan
nilai-nilai luhur yang ia cari, untuk kemudian dihidupi dalam hidup berumah
tangga dengan pasangan serta keturunannya kelak?
Hanya
seorang brahmanalah yang mempunyai paugeran-paugeran
secara ketat, serta pilihan-pilihan hidup
seperti yang dijalani Sawitri.
Namun
apa mau dikata, Prabu Aswapati kalah janji. Kebebasan untuk memilih jodoh telah
diberikan. Sebagai buah dari pendidikan keluarga yang penuh tanggungjawab dan didasari
dengan cinta dan kebebasan, maka apapun
pilihan Sawitri, orang tua bakal merestui, demi kebahagiaan putrinya.
“Jangan
cemas dan khawatir, Ramanda. Percayalah bahwa Sang Hyang Mahakuasa senantiasa melindungi Ananda. Doa restu
Ramanda Prabu dan Ibunda Ratu aku mohon sebagai bekal perjalananku.”
Tiba
saatnya bagi Sawitri benar-benar meninggalkan keraton. Ia berpamitan untuk jajah desa milang kori menjelajah desa
dari satu pintu ke pintu yang lain, untuk mendapatkan pria idamannya.
No comments:
Post a Comment