KUMBAYA adalah jun, tempayan air. Kumbaya juga berarti
gembala. Kumbayana adalah keberadaan seorang gembala atau guru, yang dengan
kebesaran jiwanya menuntun
murid-muridnya ke jalan yang lurus untuk mendapatkan air hidup abadi, agar mereka
tidak binasa.
mix media
pada kertas
50 cm x 5 cm
karya Herjaka
HS 2016
Sawitri
Oh Sawitri
Herjaka
HS
(8)
Jiwa Besar yang Tersisa
Demi
niatnya itulah Sawitri mencari waktu yang tepat untuk mempertemukan keduanya.
Ketika hari beranjak malam, suasanapun menjadi sepi. Orang-orang yang tinggal
di rumah besar itu satu persatu memasuki
bilik masing- masing yang berada di bangunan sebelah kiri atau gandok kiwa dan di bangunan sebelah
kanan atau gandok tengen. Inilah
saatnya untuk menemui Begawan Jumatsena
yang tinggal sendirian di kamarnya.
Dibarengi
oleh suara kutu-kutu walang ataga serangga malam, serta diterangi temaram
cahaya lampu minyak, Setiawan dan Sawitri memasuki ruang Begawan Jumatsena yang
sedikit pengap karena kurangnya sirkulasi udara.
Pada
kesempatan itu, Sawitri ingin menjajagi perasaan mereka dengan mengutarakan niatnya bahwa dalam pekan ini ia akan segera
mohon diri, pulang ke rumah orangtuanya.
Mendengar
kata- kata Sawitri, untuk beberapa saat mereka terdiam. Tentu saja hal tersebut
membuat bapak dan anak itu terkejut. Mereka
tidak menduga sebelumnya bahwa kebersamaan dengan Sawitri akan segera berakhir.
Ada perasaan sedih, kecewa, khawatir, dan takut berkelindan menjadi satu.
Mereka akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidup mereka.
Bagi
Begawan Jumatsena, Sawitri adalah semangat dan harapannya. Semangat untuk berani
menghadapi hidup, serta harapan untuk dapat sembuh dan melihat kembali. Oleh karenanya, kepergian
Sawitri dapat berakibat fatal bagi Jumatsena, mungkin ia akan kembali ke titik nol,
seperti saat ia putus asa dan kalah dengan penderitaan.
Sementara
itu bagi Setiawan, selama tiga bulan ini Sawitri telah benar-benar mengisi
jiwanya. Oleh karenanya, kepergian Sawitri sama halnya dengan kepergian jiwanya. Hidup tanpa jiwa adalah
hidup yang hampa, asrep, tanpa rasa dan greget.
Ungkapan
Begawan Jumatsena dan Setiawan yang disampaikan kepada Sawitri dengan kejujuran
membuat Sawitri terharu. Seberharga
itukah aku di sini? tanya Sawitri dalam hati.
“Begawan
Jumatsena dan Setiawan terimakasih atas penghargaan ini. Jika aku, yang adalah
orang lain dan tidak jelas asal usulnya, kalian hargai di rumah ini, mengapa di
antara ayah dan anak yang mempunyai hubungan darah tidak saling menghargai?
Bukankah dengan menghargai, orang akan rela mendengarkan, dengan mendengarkan
orang akan memahami, dan dengan memahami orang akan berempati, ikut merasakah
kegembiraan dan juga bersedia ikut merasakan kesedihan orang lain?”
“Benar,
Sawitri, engkau telah membuka hatiku dan
mengubah cara pandangku yang keliru. Selama ini aku hanya menghargai diriku
sendiri, mendengarkan diriku sendiri, memahami diriku sendiri, dan juga
merasakan deritaku sendiri. Aku tidak mau mendengarkan omongan Setiawan,
apalagi memahami maksudnya dan merasakan deritanya. Aku tahu bahwa ia juga
menderita seperti aku, mungkin malahan lebih menderita dibandingkan aku. Namun,
aku tidak peduli. Selagi aku masih menderita, mana mungkin aku menolong
penderitaan orang lain.
Sekarang
aku paham. Aku yang salah. Aku menyesal akan kesalahan ini, dan berjanji untuk
tidak mengulanginya. Maafkan aku, Sawitri. Maafkan aku Setiawan,” kata Begawan
Jumatsena dengan suara parau dan dalam.
Dan
Setiawan pun terharu atas permintaan maaf ayahnya.
“Maafkan
aku juga. Ayah.”
Keduanya
berdekapan erat sembari menahan tangis. Masih ada jiwa besar yang tersisa dalam
diri Begawan Jumatsena setelah sekian lama dihimpit penderitaan.
“Sawitri,
tegakah engkau meninggalkan kami dan membiarkan kami menderita berkepanjangan?”
ratap Jumatsena penuh harap.
“Sawitri,
tidakkah engkau merasakan, bahwa aku mencintaimu?” ungkap Setiawan dengan polos
dan jujur.
Sawitri
terpaku. Meski ia sudah merasa bahwa Setiawan mencintai dirinya, keberanian
mengungkapkan cintanya di hadapan Begawan Jumatsena benar-benar mengejutkan.
Sejatinya,
jika mau jujur, Sawitri lebih dahulu jatuh hati kepada Setiawan saat ia disapa Raden
Ayu di belik pinggir desa. Apalagi setelah
tinggal di rumah besar itu sekian lama, kekaguman Sawitri kepada Setiawan tak
habis-habisnya, baik pola pikirnya maupun sikapnya dalam menghadapi tragedi
kehidupan.
(bersambung)
(bersambung)
No comments:
Post a Comment