Dialog dengan Alam
lukisan tinta pada kertas
35 x 25 cm
karya herjaka HS 2018
Sawitri Oh Sawitri
herjaka HS
(7) Dialog Dua Hati
herjaka HS
(7) Dialog Dua Hati
Semenjak Sawitri ikut membantu merawat Begawan Jumatsena,
terjadi perubahan yang cukup menggembirakan. Kesehatan, semangat dan sikap
Begawan menjadi lebih baik dibandingkan ketika dirawat sendirian oleh
Setiawan.
“Aku mengucapkan terimakasih atas ketulusan dan pengorbananmu
merawat ayahku.”
“Jangan berlebihan, Setiawan. Sesungguhnya, yang aku lakukan
tidak berbeda seperti yang engkau
lakukan sebelumnya.”
“Tidak Sawitri, engkau merawat dan mengobati ayahku dengan
hati dan cinta, padahal engkau bukan apa-apanya, sedangkan aku…”
“Bukankah engkau melakukan hal yang sama, merawat ayahmu
dengan hati tulus dan cinta?”
“Aku ragu akan hal itu, Sawitri.”
“Engkau terlalu jujur, Setiawan. Apakah engkau tidak
mencintai ayahmu?”
“Menurutmu, bagaimana?”
Sawitri tidak segera menjawab karena sesungguhnya Setiawan
telah mempunyai jawabannya. Bagi Sawitri,
sebagai orang luar, untuk menilai apakah Setiawan mencintai ayahnya atau tidak
dapat dilihat dari sikapnya. Ia sabar, tidak
pemarah saat melayani ayahnya, mau berkorban
dan murah hati, serta tidak mencari keuntungan diri sendiri.
Setiawan memang telah mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran
untuk melayani serta mengobati ayahnya. Tetapi apakah ia benar-benar mencintai
ayahnya? Sawitri tidak bisa menjawab pertanyaan Setiawan, malahan dirinya
mengajukan pertanyaan baru.
“Setiawan, pernahkah engkau berbicara dari hati ke hati
kepada Begawan Jumatsena?”
Setiawan menggelengkan kepala.
“Mengapa?” tanya Sawitri
“Beberapa kali aku mencoba membuka pembicaraan tentang
kerajaan Arga Kenanga yang tiba-tiba jatuh ke tangan orang lain dan juga
penyebab kebutaannya, namun Ayah selalu membentak-bentak aku bahkan sering
menjerit-jerit sendiri. Ia tidak mau terbuka. Rupanya ada rahasia besar yang
disembunyikannya. Aku kasihan melihatnya. Maka aku berjanji tidak akan
menyinggung perihal kerajaan dan penyakitnya.”
“Apakah kemudian engkau luweh-luweh
masa bodoh, kepada ayahmu dan asyik dengan dirimu sendiri?”
“Sebenarnya tidak, Sawitri, aku tetap melayani dan mengobati
ayahku dengan sepenuh hati. Aku hanya bicara seperlunya, karena aku takut
keliru.”
Keduanya terdiam sejenak. Ketika Sawitri akan melanjutkan
pertanyaannya, tiba-tiba dirinya tersadar bahwa ia sudah terlalu jauh memasuki
ranah pribadi. Maka, kemudian diputuskan untuk tidak mengajukan pertanyaan
lagi.
“Setiawan, maafkan aku jika pertanyaanku menyinggungmu.”
“Ah. Sawitri, tidak ada yang perlu dimaafkan.”
Sebagai seorang putri raja yang selalu ingin melihat,
mengalami, dan belajar banyak hal tentang kehidupan, tentunya ia dapat melihat
ada yang perlu diperbarui dalam hubungan antara bapak dan anak, yaitu
mengomunikasikan apa yang ada dalam hati masing-masing. Dan Sawitri berjanji
akan melakukan yang terbaik bagi keduanya. (Bersambung)
No comments:
Post a Comment