Melamar Si Jantung Hati
50 x 35 cm
lukisan herjaka Hs 2018
Sawitri Oh Sawitri
Herjaka HS
(11) Melamar si Jantung Hati
Setelah berada di ruang keluarga raja, Setiawan diberi
kesempatan memperkenalkan diri.
“Sembah hamba Sang Prabu. Nama hamba Setiawan, anak seorang
brahmana yang tinggal di Arga Kenanga. Kedatangan hamba kemari untuk mengantar Gusti Putri Sawitri
yang telah lebih dari tiga bulan merawat dan mengobati ayahanda yang sedang
sakit. Pada kesempatan ini
perkenankanlah hamba atas nama keluarga mengucapkan terimakasih yang tak
terhingga kepada Baginda Prabu yang telah mendidik putrinya sehingga tumbuh
menjadi sosok pribadi yang berkualitas, penuh cinta, dan luhur budi.”
Prabu Aswapati menerima sembah Setiawan. Dalam hati ia memuji
anak muda ini, yang walaupun dari desa, unggah-ungguh
dan tata kramanya tidak kalah dengan putra-putri bangsawan. Juga dalam hal
menyusun bahasa.
“Setiawan, kita tidak sedang berada dalam pasowanan agung, saat raja bertahta dan
disembah kawulanya. Saat ini adalah pertemuan antar anggota keluarga. Oleh
karena itu bersikaplah seperti layaknya anggota keluarga, antara yang muda dan
yang tua.
Setiawan mengangguk-angguk. Selain tanda menyetujui apa yang
dikatakan Prabu Aswapati, ia juga mengagumi kearifan Prabu Aswapati. Karena
sikapnya yang ngrengkuh seperti
keluarga sendiri itulah, membuat Setiawan tidak canggung lagi untuk menyatakan
hal yang paling penting kepada Prabu Aswapati.
“Terimakasih, Prabu Aswapati. Karena kebaikan Baginda Prabu,
maka saya memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu yang sangat penting. Saya
menyadari bahwa sesungguhnya saya tidak pantas untuk mengatakannya, tetapi
mungkin lebih tidak pantas lagi jika saya tidak mengatakannya, karena dengan
demikian saya telah membohongi diri saya semdiri.”
“Setiawan, selain tampan, halus, dan sopan, engkau anak muda yang pemberani. Katakanlah maksudmu! Aku
berjanji tidak akan marah dan mempermalukanmu”
“Baiklah Baginda Prabu. Saya akan mengatakannya tidak hanya
dengan mulut tetapi juga dengan hati bahwa saya sungguh-sungguh mencintai
Sawitri, dan ingin melamarnya.”
Prabu Aswapati mengangguk-angguk. Ia tidak terkejut atas
pernyataan itu. Karena semenjak Sawitri meninggalkan kerajaan ia telah
menugaskan dua pengawal rahasia yang tepercaya
untuk mengikuti dan melindungi Sawitri. Dari kedua pengawal itulah yang
kemudian menjemput Sawitri dan Setiawan dengan kereta kuda, Prabu Aswapati tahu
bahwa keduanya telah saling jatuh cinta. Namun walaupun begitu, ia tidak mau
mendahului yang bersangkutan. Biarlah
Sawitri yang memutuskan, apakah dia menerima lamaran Setiawan atau menolaknya. Sejak
awal ia telah memberi kepercayaan kepada putrinya untuk memilih jodohnya
sendiri.
Pengakuan serta pernyataan Setiawan di hadapan ayahandanya
semakin membesarkan dan membahagiakan hati Sawitri, bahwa Setiawan sungguh
mencintai dirinya seperti dirinya juga mencintainya. Maka ketika Prabu Aswapati
meminta Sawitri untuk menanggapi lamaran Setiawan, jawabannya tentu dapat diduga, yaitu bahwa Sawitri
menerima lamaran Setiawan. Prabu Aswapati mengangguk-angguk sambil tersenyum
bahagia.
Menindaklanjuti pilihan anaknya, Prabu Aswapati segera mengumpulkan
para brahmana kerajaan untuk berembuk mempersiapkan dan memilih hari pernikahan
Sawitri. Dari “sidang agung” tersebut, sebagian besar para brahmana menyayangkan
pilihan Sawitri.
Mengapa Sawitri memilih Setiawan, anak raja yang terusir dari
negaranya dan hidup sengsara di desa terpencil? Namun, bukan hal itu yang
menjadi alasan utama keberatan para brahmana, melainkan umur Setiawan. Menurut
pencerahan yang diterima para brahmana
suci dari Sang Hyang Widiwasa, umur Setiawan tinggal setahun lagi. Oleh karena
itu, sebaiknya Sawitri membatalkan pilihannya dan mengalihkan pilihannya tidak
pada Setiawan.
Pada mulanya Sawitri terkejut dengan ramalan itu. Namun, ia tetap
yakin dengan pilihannya. Jika Sawitri membatalkan pinangan Setiawan serta
mengingkari pilihannya, dimanakah harga dirinya yang selama ini telah dibangun
dan dipertahankan dengan susah payah? Sekali Setiawan, seterusnya juga Setiawan,
hingga ajal menjemput.
“Panjang mau pun pendek umur manusia tidak bergantung
pada banyaknya angka tahun yang
dijalani. Dikatakan berusia panjang, jika seluruh hidupnya berkenan di hadapan Sang
Hyang Widiwasa, karena sesungguhnya hidup di dalam dan bersama Sang Hyang
Widiwasa adalah hidup yang sangat panjang dan tidak berkesudahan.
Waktu satu tahun akan menjadi seribu tahun di hadapan Sang
Hyang Widiwasa. Seberapapun waktu yang diberikan akan sangat berharga jika
dinikmati dan disyukuri sebagai anugerah Sang Hyang Widiwasa, terlebih bersama
orang yang sangat kita dicintai. Aku ingin mendampingi Setiawan tidak untuk
mati, melainkan untuk hidup, hidup abadi bersama Sang Sumber Hidup” kata
Sawitri panjang lebar.
Para brahmana pun terheran-heran dengan pernyataan Sawitri.
Ada rasa malu yang tersembul dari hati para brahmana. Sawitri adalah teladan
kesucian, lebih suci dari para brahmana. Tekad Sawitri untuk mendampingi
Setiawan dalam suka duka, dalam untung dan malang, dan dalam sehat dan sakit
tidak kalah bernilai dengan laku tapa
yang dijalani oleh para brahmana suci.
Karena keteguhan Sawitri, tidak ada alasan untuk membatalkan
perkawinan, hanya gara-gara umur Setiawan tinggal satu tahun. Oleh karena itu
Prabu Aswapati dan para brahmana merestui perkawinan mereka. (bersambung)
No comments:
Post a Comment