JANJI
SETIA yang diucapkan dalam perkawinan sesungguhnya tidak hanya demi dan
untuk pasangannya, tetapi juga kepada mereka yang datang dengan doa dan kepada
seluruh alam semesta .
cat
minyak pada kanvas
215
cm x 130.5 cm
Herjaka
HS 2018
Sawitri Oh Sawitri
herjaka HS
(12) Mandaraka
Bersuka-cita
Perkawinan adalah upacara bersama merayakan dua hati yang
berpadu untuk melahirkan sebuah benih kehidupan baru. Oleh karena itu, upacara
itu tidak bisa dilakukan sendirian, perlu melibatkan banyak orang. Sawitri
menginginkan upacara perkawinannya digelar secara besar-besaran.
Besar bukan berarti banyaknya tamu yang diundang, terutama
orang-orang besar. Atau besar dalam ukuran biaya yang dikeluarkan. Tetapi besar
yang dikehendaki Sawitri adalah besar karena melibatkan seluruh kawula
Mandaraka.
Dengan bermodal cinta serta niat suci nan luhur, upacara
perkawinan pun terselenggara dengan agung dan sakral. Sukacita pengantin adalah
sukacita mereka. Dengan demikian, pesta
perkawinan ini menjadi milik mereka. Semua berpesta, semua bersukaria. Rajalah
yang menanggung semuanya. Kemaharajaan adalah
memberi, bukan meminta. Kemuliaan adalah melayani, bukan dilayani.
Keluhuran adalah menghargai, bukan dihargai. Kewibawaan adalah menghormati,
bukan dihormati.
Perkawinan agung itu semakin mengukuhkan bahwa negara
Mandaraka adalah negara yang besar, kuat, subur, makmur, tenteram, dan damai. Gemahripah lohjinawi tata titi tentrem
kertaraharja.
Setelah keduanya resmi menjadi suami istri, Sawitri diboyong
Setiawan ke pertapaan Arga Kenanga
Jika Sawitri merasa bahagia saat meninggalkan kerajaan untuk
hidup berdampingan dengan Setiawan, tidak demikian halnya dengan mereka yang
ditinggalkan. Ada keraguan dihati Prabu Aswapati dan Ibunda Ratu apakah Sawitri
bisa hidup bahagia. Bukankah sejak lahir Sawitri telah hidup dalam gelimang
harta duniawi? Bisakah ia hidup bahagia di dunia ini dengan melepaskan pangkat,
derajat, serta harta benda?
Seperti halnya sebuah tandu, kemewahan duniawi akan
mengangkat tinggi-tinggi seseorang agar ia tidak menapaki jalan kehidupan yang
terjal dan tajam sehingga kakinya yang lunak dan halus tidak terantuk batu
tatkala tandu kerajaan yang seharusnya menandu Sawitri dibiarkan teronggok di
keputrian. Sawitri dan Setiawan telah bertekad bulat, ingin merasakan jalan
hidup mereka dengan kaki telanjang. Bagaikan anak panah melesat dari busurnya, Sawitri
bersama suaminya meninggalkan kotaraja Mandaraka, dengan menyisakan kekhawatiran
besar pada kedua orang tuanya. (bersambung)
No comments:
Post a Comment